Sabtu, 28 Juni 2008

99 TANGAN TUHAN DI ACEH

Empat Kali Tenggelam,
Kulkas Datang Menolongnya

Bagian 06

Nyaris Putus asa diombang-ambing gelombang air bah.
Untung ada lemari es yang hanyut. Ia pun mendekap erat
Kulkas itu hingga terselamatkan.

Nasib Nurmala Sulaiman Abdullah, 32 tahun, lebih tragis ia hidup sebatang kara. Hanya beralas tikar, warga Keudah itu terbaring di lantai Rumah Sakit Umum Harapan Bunda dengan kondisi mengenaskan. Kaki, perut, dan pahanya terluka. Dadanya sesak akibat hantaman kayu saat air menerjang. Yang paling menyedihkan, suami dan empat anaknya raib ditelan air.

Saat gempa mengguncang, seperti warga Banda Aceh Nurmala keluar rumah untuk menghindari gempa dengan duduk di jalan. Tak lama berselang, gelombang air dating. Nurmala masih sempat menggenggam tangan Minal Fajri, 15 tahun, anak keduanya. Tetapi empasan air begitu kuatnya. Genggaman Nurmala Lepas. Ia terpental diterjang air, dan terguling-guling diamuk air bah, tubuhnya terantuk ke sana ke mari.

Agak tidak tenggelam, nurmala yang tak bisa berenang berusaha mendekap kulkas yang melintas di depannya. Air menyeret Nurmala tanpa ampun. “Saya sempat lima kali ditenggelamkan air,” tutur Nurmala dengan napas tersengal-sengal setiap ia berbicara, dadanya terasa sakit. Nurmala tidak berapa jauh tubuhnya diseret air, sampai akhirnya diselamatkan oleh seorang Brimob dibawa ke Rumah Sakit Harapan Bunda.

Sampai selasa lalu, Nurmala belum mendapatkan kepastian nasib suami dan anak-anaknya. Firasatnya mengatakan, mereka telah tiada. “Semua anak saya tidak bisa berenang, “ujarnya sembari menahan sakit di dada. Nurmala tidak sendirian Puluhan ribu warga juga selamat dari amuk tsunami. “Tapi semangat hidup mereka hilang, “ kata staf Posko penanggulangan Bencana dan Penanggulangan Pengungsi, Hermit Hia. Mereka begitu traumatis pada tsunami, “mesin pembunuh baru, ketimbang pada gempa.


Khudri, dan Arfan (Banda Aceh)
(Laporan utama, Gatra Nomor 08 beredar Jumat, 31 Desember 2004)

99 TANGAN TUHAN DI ACEH

UNTUNG ADA PERAHU Bagian 5

Tersapu Ombak, tertampak di Pohon mangga,
Pasangan suami istri ini, akhirnya mendapat pertolongan dari Perahu
Mesin yang tengah melintas.


Terbayang kembali bagaimana ai berjuang menyelamatkan diri. Pagi itu, dua kali ia mendengar suar gelegar dari arah laut. Tak lama kemudian, gelombang air bergulung-gulung menuju daratan—yang diperkirakan merangsek sampai 12 kilometer dan pantai, dengan ketinggian sekitar 8 meter. Dalam hitungan detik tiba-tiba air menyergap dan menggenangi rumah setinggi dada orang dewasa.

Ismail yang berada di halaman segera berlarfi ke rumah untuk menyelamatkan istrinya, sauah, 35 tahun. Empat anaknya tidak ketahuan dimana. Gelomobang air bergulung-gulung melumat rumah-rumah penduduk dan bangunan yang menghalangi Jeritan” tolong!tolong! bersahut-sahutan. Tapi semua tidak berdaya, termasuk Ismail. Air kian meninggi. “Saya melihat beberapa warga terempas dihantam ombak, “tuturnya.

Ismail memegang erat tangan sang istri yang tertatih-tatih dengan sisa-sisa tenaganya, ia mencari-cari “daratan” bru, karena seluruh perkampungan sudah rata oleh bah. Pandangan matanya nanar melihat tubuh manusia timbul-tenggelam dalam arus air. Air sudah sebats leher. Sauah bertanya lemah, dimana anak kita, Pak?” pertanyaan yang juga menyesaki dada ismail. Kakinya mengayuh kencang, berlomba dengan laju gelombang.

Harapannya muncul ketika melihat sebuah pohon mangga. Diraihnya dahan yang terjangkau. Ismail melengketkan tubuhnya ke batng pohon. Ratusan meter dari temapt ia bertahan, beberapa orang meminta tolong. Suara itu hanya terdengar dua kali, lalu hilang ditelan gemuruh air. “ Lambaian tangan mereka pun tak tampak, “kata Ismail, Lirih.

Tak ada harapan untuk berenang ke tempat yang lebih aman. Pohon mangga itulah, untuk sementara, jadi tempat berlindungnya yang paling aman. Namun “tangan Tuhan” tidak tinggal diam. Dari kejauhan, sebuah perahu bermesin temple muncul dengan lima orang di dalamnya. Saat itulah Ismail berteriak sembari melambaikan tangan.

Awak perahu melihatnya, lalu memutar haluan dan menolong Ismail-Saudah. Tiba-tiba, terdengar teriakan minta tolong dari kiri-kanan perahu. Awak kapal menggelengkan kepala, memberi isyarat muatan sudah penuh. “Seorang saja naik,” ujarnya. Perahu segera melaju. Di belakangnya lambaian tangan minta tolong timbul-tenggelam air, menunggu keajaiban lain.

99 TANGAN TUHAN DI ACEH

Bayi Empat Bulan
Terendam Lumpur Bersama Ibunya bagian ke 4

Dedy berhasil selamatkan bayi empat bulan yang terendam Lumpur.
Saat diselamtkan, wajahnya pucat pasi dan sempat muntah-muntah.


Matanya layu, Tubuhnya setengah oleng. Kelelahan dan kesedihan menggurat di wajahnya. “Saya sudah melihat lebih dari 1.000 mayat, “tutur Dedy Jufri, 27 tahun. Tubuh tidak bernyawa itu bertebaran di mana-mana. Tergeletak di jalan berdebu, terperangkap di reruntuhan Pasar Aceh, terbaring di Masjid Raya, terapung di Taman Sari, dan hanyut di Krueng Aceh. Di sudut-sudut kota yang luluh lantak, bergelimpangan mayat. Udara Seantero Banda Aceh menebarkan bau anyir.

Dedy Jufri, Pemuda asal Lampulo, daerah dekat pantai di Banda Aceh, ibu kota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, itu berusaha tegar. Tetapi raut wajah dan matanya tidak bisa berbohong. Hatinya remuk-pilu, Ia kehilanan lima orang keluarganya: ayah, ibu, dua adik perempuan, dan satu adik laki-laki. Orang-orang yang dicintai itu telah pergi selama-lamanya. Innalillahi wa inna ilaihi raajiun.

Lampulo memang dekat dengan laut. Ketika gempa berkekuatan 8,9 pada skala Richter yang disusul tsunami mengguncang Aceh dan Sekitarnya, minggu lalu, gelombang air yang menggulung Lampulo ketinggiannya mencapai lebih dari lima meter. “Sampai di atas tiang Listri,” kata Muhammad Syahrial, adik laki-laki Dedy yang selamat. Gelombang dahsyat itulah yang menghantam rumah Dedy dan Penduduk sekitarnya.

Diawali dengan gempa pada sekitar pukul 08.10, minggu pagi. Guncang terjadi beberapa kali dengan intensitas berbeda. Pusat gempa berada Samudra Hindia, Sekitar 149 Kilometer sekala Kota Meulaboh, Aceh Barat, pada kedalaman 10 kilometer. Gempa di perairan itu mengempaskan tsunami di kawasan Asia Tenggara an Asia Selatan. Indoneisa, Sri Lanka, India, Malaysia, Maladewa, Thailand, Myanmar, dan Bangladesh menderita paling Parah.

Begitu guncangan mereda, Syahrial mengambil sepeda motor. Ia hendak bertandang ke seorang teman. Tiba-tiba, dari kejauhan terdengar pekik histeris, “Air! Air….!” Warga lampulo lain yang sudah berada diluar rumah berlarian panic. Syahrial siap-siap tancap gas. Sejenak ia sempat melihat ayahnya menuju mobil. “Terakhir saya melihat ayah menutup pintu mobil,” kata Syahrial. Setelah itu, ia langsung memacu motor, berkejar-kejaran dengan gelombang air yang lari bergulung-gulung.



Dedy yang sudah berada di luar Lampulo menunggu air mereda untuk bisa mengetahui keadaan keadaan keluarganya. Tapi ia tidak kuasa menunggu. Setengah jam kemudian, ia nekat mencari keluarganya. Ia mengarungi air berpasir setinggi paha, menyibak setiap papan dan kayu, erta memeriksa setiap mayat yang terbujur. Seorang kawan menginformasikan bahwa adiknya ada di jalan Pocut Baren, beberapa ratus meter dari Lampulo. Seperti kesehatan, Dedy berlari ke sana. Di jalan Pocut Baren, ia menemukan ika Yanti, 26 tahun. Adik perempuannya itu nyaris pingsan. “Dia sekarat, “kata Dedy.

Separuh tubuh ika tertutup pasir. Tangannya erat memeluk M. Ahyar, oroknya yang baru berumur empat bulan yang sudah putih pucat. Seperti mendapatkan tambahan tenaga ekstra Dedy bergerak cepat menggali pasir, lalu membopong Ika dan Ahyar ke tempat yang lebih tinggi. Ia membawa Ika dan Ahyar ke sebuah bangunan di Kawasan Jambo Tape. Kain Gorden gedung tersebut ditarik Dedy, lalu di dililitkan ke tubuh Ahyar.

Namun si bayi tetap diam memucat. Dedy melarikan Ika dan Ahyar ke Desa Lampeuneureut. Di sana Ahyar sempat mendapat suntikan seorang mantri. “Ahyar muntah Lumpur, “tutur Dedy. Kini kondisi Ika dan Ahyar berangsur-angsur membaik.

Ika bertutur, saat kejadian, semua anggota keluarga masuk mobil dan siap-siap kabur. Tapi, begitu anggota masuk mobil dan siap-siap kabur. Tapi, begitu anggota keluarga yang terkahir masuk menutup pintu mobil, bah menghantam badan mobil. Toyota Hi Ace keluaran 1984 itu ibarat mainan, diempaskan ke segala arah oleh bah nan ganas.

Ika yang tengah memluk erat Ahyar terpelanting ke luar mobil, terbentur ke tembok, bahkan sempat tersangkut bawah mobil, sampai akhirnya diselamtkan Dedy. Nasib anggota keluarga yang lain belum jelas. Dedy memperkirakan, mereka terjebak dalam mobil. Setelah air benar-benar surut, bangka mobil ditemukan terjengkang sekitar 40 meter dari rumah. “ Isinya kosong, “ kata Dedy, nanar.

Dedy masih beruntung. Setidaknya masih ada keluarganya yang tersisa. Ismail 55 tahun, justru kehilangan empat anaknya. Senin lalu, warga kuala cangkoi, kecamatan Tanah Pasir, Aceh Utara, itu mendatangi desanya. Ia menjelajahi genangan air berlumpur, membongka tumpukan sampah dan kayu, mencari jasad anaknya. Sesekali ia mendalangi areal pertambahan yang kini rata dilumat badai.