Jumat, 12 Desember 2008

99 Tangan Tuhan Di Aceh new entry

Bayi Empat Bulan
Terendam Lumpur Bersama Ibunya bagian ke 4

Dedy berhasil selamatkan bayi empat bulan yang terendam Lumpur.
Saat diselamtkan, wajahnya pucat pasi dan sempat muntah-muntah.


Matanya layu, Tubuhnya setengah oleng. Kelelahan dan kesedihan menggurat di wajahnya. “Saya sudah melihat lebih dari 1.000 mayat, “tutur Dedy Jufri, 27 tahun. Tubuh tidak bernyawa itu bertebaran di mana-mana. Tergeletak di jalan berdebu, terperangkap di reruntuhan Pasar Aceh, terbaring di Masjid Raya, terapung di Taman Sari, dan hanyut di Krueng Aceh. Di sudut-sudut kota yang luluh lantak, bergelimpangan mayat. Udara Seantero Banda Aceh menebarkan bau anyir.

Dedy Jufri, Pemuda asal Lampulo, daerah dekat pantai di Banda Aceh, ibu kota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, itu berusaha tegar. Tetapi raut wajah dan matanya tidak bisa berbohong. Hatinya remuk-pilu, Ia kehilanan lima orang keluarganya: ayah, ibu, dua adik perempuan, dan satu adik laki-laki. Orang-orang yang dicintai itu telah pergi selama-lamanya. Innalillahi wa inna ilaihi raajiun.

Lampulo memang dekat dengan laut. Ketika gempa berkekuatan 8,9 pada skala Richter yang disusul tsunami mengguncang Aceh dan Sekitarnya, minggu lalu, gelombang air yang menggulung Lampulo ketinggiannya mencapai lebih dari lima meter. “Sampai di atas tiang Listri,” kata Muhammad Syahrial, adik laki-laki Dedy yang selamat. Gelombang dahsyat itulah yang menghantam rumah Dedy dan Penduduk sekitarnya.

Diawali dengan gempa pada sekitar pukul 08.10, minggu pagi. Guncang terjadi beberapa kali dengan intensitas berbeda. Pusat gempa berada Samudra Hindia, Sekitar 149 Kilometer sekala Kota Meulaboh, Aceh Barat, pada kedalaman 10 kilometer. Gempa di perairan itu mengempaskan tsunami di kawasan Asia Tenggara an Asia Selatan. Indoneisa, Sri Lanka, India, Malaysia, Maladewa, Thailand, Myanmar, dan Bangladesh menderita paling Parah.

Begitu guncangan mereda, Syahrial mengambil sepeda motor. Ia hendak bertandang ke seorang teman. Tiba-tiba, dari kejauhan terdengar pekik histeris, “Air! Air….!” Warga lampulo lain yang sudah berada diluar rumah berlarian panic. Syahrial siap-siap tancap gas. Sejenak ia sempat melihat ayahnya menuju mobil. “Terakhir saya melihat ayah menutup pintu mobil,” kata Syahrial. Setelah itu, ia langsung memacu motor, berkejar-kejaran dengan gelombang air yang lari bergulung-gulung.



Dedy yang sudah berada di luar Lampulo menunggu air mereda untuk bisa mengetahui keadaan keadaan keluarganya. Tapi ia tidak kuasa menunggu. Setengah jam kemudian, ia nekat mencari keluarganya. Ia mengarungi air berpasir setinggi paha, menyibak setiap papan dan kayu, erta memeriksa setiap mayat yang terbujur. Seorang kawan menginformasikan bahwa adiknya ada di jalan Pocut Baren, beberapa ratus meter dari Lampulo. Seperti kesehatan, Dedy berlari ke sana. Di jalan Pocut Baren, ia menemukan ika Yanti, 26 tahun. Adik perempuannya itu nyaris pingsan. “Dia sekarat, “kata Dedy.

Separuh tubuh ika tertutup pasir. Tangannya erat memeluk M. Ahyar, oroknya yang baru berumur empat bulan yang sudah putih pucat. Seperti mendapatkan tambahan tenaga ekstra Dedy bergerak cepat menggali pasir, lalu membopong Ika dan Ahyar ke tempat yang lebih tinggi. Ia membawa Ika dan Ahyar ke sebuah bangunan di Kawasan Jambo Tape. Kain Gorden gedung tersebut ditarik Dedy, lalu di dililitkan ke tubuh Ahyar.

Namun si bayi tetap diam memucat. Dedy melarikan Ika dan Ahyar ke Desa Lampeuneureut. Di sana Ahyar sempat mendapat suntikan seorang mantri. “Ahyar muntah Lumpur, “tutur Dedy. Kini kondisi Ika dan Ahyar berangsur-angsur membaik.

Ika bertutur, saat kejadian, semua anggota keluarga masuk mobil dan siap-siap kabur. Tapi, begitu anggota masuk mobil dan siap-siap kabur. Tapi, begitu anggota keluarga yang terkahir masuk menutup pintu mobil, bah menghantam badan mobil. Toyota Hi Ace keluaran 1984 itu ibarat mainan, diempaskan ke segala arah oleh bah nan ganas.

Ika yang tengah memluk erat Ahyar terpelanting ke luar mobil, terbentur ke tembok, bahkan sempat tersangkut bawah mobil, sampai akhirnya diselamtkan Dedy. Nasib anggota keluarga yang lain belum jelas. Dedy memperkirakan, mereka terjebak dalam mobil. Setelah air benar-benar surut, bangka mobil ditemukan terjengkang sekitar 40 meter dari rumah. “ Isinya kosong, “ kata Dedy, nanar.

Dedy masih beruntung. Setidaknya masih ada keluarganya yang tersisa. Ismail 55 tahun, justru kehilangan empat anaknya. Senin lalu, warga kuala cangkoi, kecamatan Tanah Pasir, Aceh Utara, itu mendatangi desanya. Ia menjelajahi genangan air berlumpur, membongka tumpukan sampah dan kayu, mencari jasad anaknya. Sesekali ia mendalangi areal pertambahan yang kini rata dilumat badai.





UNTUNG ADA PERAHU
Bagian 5

Tersapu Ombak, tertampak di Pohon mangga,
Pasangan suami istri ini, akhirnya mendapat pertolongan dari Perahu
Mesin yang tengah melintas.


Terbayang kembali bagaimana ai berjuang menyelamatkan diri. Pagi itu, dua kali ia mendengar suar gelegar dari arah laut. Tak lama kemudian, gelombang air bergulung-gulung menuju daratan—yang diperkirakan merangsek sampai 12 kilometer dan pantai, dengan ketinggian sekitar 8 meter. Dalam hitungan detik tiba-tiba air menyergap dan menggenangi rumah setinggi dada orang dewasa.

Ismail yang berada di halaman segera berlarfi ke rumah untuk menyelamatkan istrinya, sauah, 35 tahun. Empat anaknya tidak ketahuan dimana. Gelomobang air bergulung-gulung melumat rumah-rumah penduduk dan bangunan yang menghalangi Jeritan” tolong!tolong! bersahut-sahutan. Tapi semua tidak berdaya, termasuk Ismail. Air kian meninggi. “Saya melihat beberapa warga terempas dihantam ombak, “tuturnya.

Ismail memegang erat tangan sang istri yang tertatih-tatih dengan sisa-sisa tenaganya, ia mencari-cari “daratan” bru, karena seluruh perkampungan sudah rata oleh bah. Pandangan matanya nanar melihat tubuh manusia timbul-tenggelam dalam arus air. Air sudah sebats leher. Sauah bertanya lemah, dimana anak kita, Pak?” pertanyaan yang juga menyesaki dada ismail. Kakinya mengayuh kencang, berlomba dengan laju gelombang.

Harapannya muncul ketika melihat sebuah pohon mangga. Diraihnya dahan yang terjangkau. Ismail melengketkan tubuhnya ke batng pohon. Ratusan meter dari temapt ia bertahan, beberapa orang meminta tolong. Suara itu hanya terdengar dua kali, lalu hilang ditelan gemuruh air. “ Lambaian tangan mereka pun tak tampak, “kata Ismail, Lirih.

Tak ada harapan untuk berenang ke tempat yang lebih aman. Pohon mangga itulah, untuk sementara, jadi tempat berlindungnya yang paling aman. Namun “tangan Tuhan” tidak tinggal diam. Dari kejauhan, sebuah perahu bermesin temple muncul dengan lima orang di dalamnya. Saat itulah Ismail berteriak sembari melambaikan tangan.

Awak perahu melihatnya, lalu memutar haluan dan menolong Ismail-Saudah. Tiba-tiba, terdengar teriakan minta tolong dari kiri-kanan perahu. Awak kapal menggelengkan kepala, memberi isyarat muatan sudah penuh. “Seorang saja naik,” ujarnya. Perahu segera melaju. Di belakangnya lambaian tangan minta tolong timbul-tenggelam air, menunggu keajaiban lain.


Empat Kali Tenggelam,
Kulkas Datang Menolongnya

Bagian 6

Nyaris Putus asa diombang-ambing gelombang air bah.
Untung ada lemari es yang hanyut. Ia pun mendekap erat
Kulkas itu hingga terselamatkan.

Nasib Nurmala Sulaiman Abdullah, 32 tahun, lebih tragis ia hidup sebatang kara. Hanya beralas tikar, warga Keudah itu terbaring di lantai Rumah Sakit Umum Harapan Bunda dengan kondisi mengenaskan. Kaki, perut, dan pahanya terluka. Dadanya sesak akibat hantaman kayu saat air menerjang. Yang paling menyedihkan, suami dan empat anaknya raib ditelan air.

Saat gempa mengguncang, seperti warga Banda Aceh Nurmala keluar rumah untuk menghindari gempa dengan duduk di jalan. Tak lama berselang, gelombang air dating. Nurmala masih sempat menggenggam tangan Minal Fajri, 15 tahun, anak keduanya. Tetapi empasan air begitu kuatnya. Genggaman Nurmala Lepas. Ia terpental diterjang air, dan terguling-guling diamuk air bah, tubuhnya terantuk ke sana ke mari.

Agak tidak tenggelam, nurmala yang tak bisa berenang berusaha mendekap kulkas yang melintas di depannya. Air menyeret Nurmala tanpa ampun. “Saya sempat lima kali ditenggelamkan air,” tutur Nurmala dengan napas tersengal-sengal setiap ia berbicara, dadanya terasa sakit. Nurmala tidak berapa jauh tubuhnya diseret air, sampai akhirnya diselamatkan oleh seorang Brimob dibawa ke Rumah Sakit Harapan Bunda.

Sampai selasa lalu, Nurmala belum mendapatkan kepastian nasib suami dan anak-anaknya. Firasatnya mengatakan, mereka telah tiada. “Semua anak saya tidak bisa berenang, “ujarnya sembari menahan sakit di dada. Nurmala tidak sendirian Puluhan ribu warga juga selamat dari amuk tsunami. “Tapi semangat hidup mereka hilang, “ kata staf Posko penanggulangan Bencana dan Penanggulangan Pengungsi, Hermit Hia. Mereka begitu traumatis pada tsunami, “mesin pembunuh baru, ketimbang pada gempa.


Khudri, dan Arfan (Banda Aceh)
(Laporan utama, Gatra Nomor 08 beredar Jumat, 31 Desember 2004)


SEPULUH HARI BERTENGGER di ATAS POHON

Bagian 7

Seorang remaja di Kepulauan Andaman, India, berpegangan di pohon selama sepuluh hari tanpa makan dan minum.
Ia sengaja bertahan,m lantaran tak bisa berenang.

“Mulanya, saya selalu menangis, tetapi setelah beberapa hari air mata saya habis. Tidak ada makanan maupun air, dan tak ada pertolongan, “ kata remaja berumur 14 tahun, Murlitharan, di Port Blair.

Murlitharan diterbangkan dari pulau Nicobar yang sudah luluh lantak itu menggunakan pesawat Angkatan Udara India pada Rabu ( 5/1) dan ditemui oleh Kepala Administrasi Pulau Andaman dan Nicobar, Ram, Kapse, setelah sehari penuh Istirahat.

“Saya tidak bisa berenang, jadi saya berpegangan pada sebuah batang pohon selama sepuluh hari, karena air lait tidak turun dari desa saya, Tapai Ming, “ kata anak remaja yang mendapat memar sekujur tubuhnya.

Angkatan udara India mengatakan, Murlithrian akhirnya melepaskan pegangannuya dari batang pohon dan terjatuh ke air setelah berlindung selama sepuluh hari pada selasa (4/1). Seorang Wanita dri penduduk setempat menyelamatkannya dan merawatnya hingga akhirnya tentra dari angkatan udara India tiba.

Orang tua Multitharan saat ini berada dirumah sakit di pantai selatan kota Madras, India setelah sepekan sebelum dievakuasi dari Nicobar yang tersapu gelombang tsunami pada Desember 2004.

Letnan Jenderal B.S. Thakur, yang memimpin operasi penyelamatan, mengaku lega apat menyelematkan 17 korban selamt pada kamis (30/1) lalu dari pulau Katchat dimana 6.500 orang hilang.

“Tentu saya merasa bahagia, “ ujar Thakur setelah tiba di Port Blair bersama 17 pria, wanita, dan anak-anak diangkut darikaasan pantai Barat pulau Katchal.

“Ketika kami mendarat di Katchal, dua orang anak berjalan sejauh 16 kilometer (10 mil) melintasi jalan terjal dan memeeritahu tentang korban selamt yang terdampar di tengah air laut di pantai barat, “kata Thakur.

“Seandainya kami tidak membawa satu anak sebagipenujuk jalan, kami tidak akan menemukan mereka. Kawasan tersebut sudah sangat hancur, “katanya.

“Mereka terjebak di Lumpur sejak 26 Desember, dan diselamatkan pohon kelapa dan pisang, tanap air. Itu keajaiban ujarnya.

“Korban Selamt yang mengungis dari Katchal kini dibayangi kematian dan kehancuran dalam skala besar, pengungsian dan keluarga yang hilang akibat pukulan bencan terbesar di kepulauan Melayu.

Padahal, malam tahun baru masih jauh ketika turis asing mengunjungi Katchal untuk melihat matahari terbit pertama setelah obsevastorium kerajaan Greewich London mendeklarasikannya sebagai daerah paling pertama melihat fajar tahun baru menggunakan GreeWich Time ( GMT).

Penghitungan resmi jumlah korban tsunami di India pada Kamsi (6/1) menyebutkan 9.986 orang dipastikan meninggal dunia, sedangkan jumlah korban hilang 5.676 orang. “sebagian besar diperkirakan meninggal, “kata pejabat berwenang.

Jumlah mayat yang ditemukan di kepulauan Andaman dan Nicobar mencapai 1.969, hampir 300 lebih ditemukan pada Rabu, kata Thakur.

Jumlah orang hilang dikepulauan tersebut berkurang dari 6.000 orang menjadi 5.592 orang. Kementrian dalam negeri menyebutkan sedikitnya 8.790 orang meninggal di tanah daratan.

Wilayah Tamil Nadu mengalami efek gempa terburuk dengan korban tewas 7.932 orang. Sedangkan tetangganya, Pondicherry, kehilangan 583 warganya.



BERJARAK 30 METER DARI PANTAI
DUA MASJID TAK TERSENTUH AIR

Bagian 08

Banyak keajaiban yang sulit diterima akal manusia dengan adanya
Masjid-masjid yang masih utuh. Padahal rumah-rumah dan bangunan di sekitarnya sudah ambruk dan rata dengan tanah.

Kisah-kisah bernuansa gaib terus saja dialami mereka ketika mncari perlindugan di rumah Allah. Hanya orang-orang berimanlah mempercayainya. Sebut saja mengenai pengalaman yang dialamim ratusa warga Desa Pasi Lhok di Kecamatan Kembang Tanjung, Kabupaten Pidie. Desa di pesisir pantai selatan Malaka yang terletak sekitar 20 kilometer timur Sigli, ibukota Pidie, luluh lantak diterjang gelombang tsunami. Tetapi dua masjid yang terletak sekitar 30 meter dari bibir pantai di desa itu tetap tegak berdiri hingga kini.

Ajaib memang. Air bah yang disebabkan gelombang tsunami sama sekali tidak menyentuh lantai masjid padahal saat bencana terjadi. Menurut warga setempat, ketinggian air mencapai tiga meter. Seratusan warga setempat yang bernaung dalam rumah Allah itupun selamat. Warga baru meninggalkan masjid untuk mengungsi setelah air surut.

Ketika serambi bertanang ke Pasi Lhok, Jum’at (31/12) silam, lantai masjid yang terbuat dari keramik warna putih terlihat bersih. Tidak ada sama sekali tanda-tanda air msuk ke dalam masjid yang dibangun warga setempat, yang berprofesi sebagai nelayan an petambak udang.

Apakah lantia masjid itu sudah dibersihkan sudah dibersihkan warga? Jawabannya tidak! Sebab, semua warga Pasi Lhok bersama enam desa lainnya meninggalkan kampungnya untuk mngungis di pusat pasar kecamatan kembang Tanjung yang jaraknya, sekitar 8 kilometer. Kalau memang sudah dibersihkan, pasti terdapat sisa-sisa bekas air meluap. Tapi, itu tidak ada sama sekali. Bekas air hanya telihat pada anak tangga kedua masjid. Dan di beberapa rumah yang dalam kondisi rusak parah terlihat bekas air dua hingga tiga meter. Saat gelombang menerjang, menurut warga setempat, sekitar 100 orang lebih berlindung dalam masjid baru.

Di Banda Aceh dan Aceh Besar juga masih banyak masjid tetap berdiri kokoh. Begitupun, beberapa diantara mengalami rusak parah, seperti Masjid Al-Makmur di kawasan Lampriet, kota Banda Aceh, dimana kubah Masjid ini ambruk ke Lantai. Pekarangan masjid juga dipenuhi Lumpur yang dibawa air dari gelombang tsunami.

Begitu juga masjid Raya Baiturahman. Masjid bersejarah masih tetap selamat meski halamannya dipenuhi puing-puing dan batang kayu, yang diseret gelombang. Di beberapa sudut lantai masjid kebanggaan orang aceh ini juga jadi tempat penampungan jenazah-jenazah korban hingga beberapa hari setelah bencana. Nurdin hasan Aceh 6 Januari 2005.



SEANDAINYA EMPAT DOKTER ITU
PULANG KE MEULABOH

Bagian 09

Empat dokter dari Meulaboh sepakat berlibur ke Banda Aceh Minggu Pagi, mereka membatalkan niatnya untuk segera pulang ke Meulaboh


ENTAH apa yang ada di benak dr. Ilham, dr. Dody, dr Rona, dan dr. Lily Kalalo saat memutuskan berlibur ke Banda Aceh, sabtu (25/12), untuk menghilangkan penat di sela-sela kesibukan mereka sebagi angota Satgas Kesehatan di Ka bupaten Meulaboh. Namun, Liburan itu berubah menjadi petaka dan horror yang tidak mungkin mereka lupakan, ketika Banda Aceh, Minggu (26/12) diguncang gempa berkekuatan tinggi yang disusul oleh hempasan gelombang tsunami yang dahsyat.

“Kami sebenarnya sudah memutuskan untuk pulang ke Meulaboh pada hari Minggu itu. Tapi ketika berada di dekat Masjid Baiturahman, kami melihat orang berlarian dari arah barat. mereka sangat panik. Ketika meliaht apa yang mereka lihat kami juga panik, karena di kejauhan terlihat gelombang laut setinggi pohon kelapa, “ujar Lily, saat mengungkapkan pengalamannya kepada “PR” di Bandara Iskandar Muda, Banda ACeh Senin (27/12).

Lily bersama ketiga rekannya langsung ikut berlari menyelamatkan diri ke daerah yang tinggi. Mereka beruntung bisa selamat, karena banyak warga yang berlari bersama mereka tewas atau hilang diterjang gelombang.

Melihat bencana yang membawa banyak korban, insting nurani keempatnya sebagai petugas kesehatan langsung muncul nurani keempatnya sebagai petugas kesehatan langsung muncul lily, ilham, Dody, dan Rona langsung berlari ke puskesmas setempat dan mulai menangani korban-korban yang terluak. “Tanpa piker panjang lagi kami langsung bekerja. Awalnya kami bingung juga, karena ternyata petugas puskesmas kelihatannuya ikut hilang terbawa ombak. Sedangkan pasien seperti tidak henti-hentinya berdatangan, “Ujar Rona.

Walhasil, dengan bekerja keras sehari semalam nyaris tanpa istirahat, keempat dokter ini ternyata mampu menangani lebih dari 300 korban tsunami. Walau para pasien itu tidak sepenuhnya berhasil ditangani, keempat dokter itu mereka bangga karena bisa menolong banyak orang.

“Yang membuat kami sedikit Shock aalah mereka yang sudah tidak tertolong lagi ketiak kami tangani. Bayangkan, saya mendapat pasien yang kepalanya terluka sangat parah. Kami tidak bisa apa-apa lagi karena peralatan ayng ada angat tidak memadai. Ketika dirujuk ke rumah sakit militer, mereka juga kewalahan dan kehabisan obat, “Ujar Lily.

Dody pun menunjukkan situasi kepanikan warga Banda Aceh yang ia rekan dengan kamera di telefon selulernya, pada saat-saat menjelang gelombang tsunami tiba. “Saya melihat ada orang yang terjun dari lantai tiga sebuah bangunan karena saking paniknya. Kaki orang itu dua-duanya patah. Saya juga melihat orang-orang gila dari rumah sakit jiwa dikeluarkan agar bisa menyelamatkan diri. Ini bencana yang sangat luar biasa mengerikan. Lihat saja mayat-mayat di pinggir jalan itu, tidak terbayang saya akan mengalami peristiwa seperti itu, “ujar Dody.

Tapi ternyata, keempat dkter ini tidak mengetahui musibah serupa juga terjadi didaerah lain. Karena itu mereka sempat terhenyak ketiak mengetahui bahwa gempa dan tsunami juga mengguncang temapt asal mereak, Meulaboh, bahkan hingga ke luar negeri. Mereka mengaku tidak tahu tentang peristiwa yang terjadi diluar Banda Aceh karena saluran komunikasi dan listrik lumpuh total. “wah, banyak yang kami tidak ketahui rupanya. Habis bagaimana lagi, kami sibuk mengurusi para korban. Lagi pula listrik dan telefon di sini kan kamti, “ujar Ilham.



SAAT SADAR, SUDAH DI ATAS MASJID

Bagian 10
Minggu yang indah buat keluarga Suherman, tiba-tiba berubah menjadi petaka, Air bah menggulung keluarganya. Kejadiannya begitu cepat,, tahu-tahu sudah diatas masjid.


Tatap mata Suherman (39) kosong. Tubuhnya tampak begitu letih. Di loksai pengungsian Mata Le, suherman mereasa sendirian. Istrinya, Sapiah (37) dan tiga anaknya, Putri Wulandari (12) Bayu Julainsyah Putra (8), dan Arief Muhammad Alfisehan (1,5) hingga sekarang tak diketahui nasibnya. Bencana tsunami yang sedemikaina dahsyat telah meluluh lantakkan segalanya, termasuk kebahagiaan rumah tangganya.

“Saya enggak tahu lagi dimana istri dan anak-anak, juga seorang keponakan saya, Hartono (24). Sampai sekarang say belum bisa menemukan mereka. Saya sudah mencarai di setiap pengungsian. Namun, saya tak yakin mereka masih di setiap pengungsian. Namun, saya tak yakin mereka masih hidup, “ucap Suherman terbata-bata. Butir-butir bening mengalir dan matanya yang semakin meredup.

Musibah itu juga telah meluluhlantakkan rumah sederhananya di kawasan Punge Jurong. Aceh Besar. Padahal, rumah itu ia bangun drai hasil tetes demi tetes keringatnya sebagi tukang bangunan. Sejak ia tinggal di Aceh tahun 1985. “Sekarang rumah ay sudah hancuyr. Saya sudah tidak punya apa-apa lagi, ujar pria asal stabat, Medan ini dengan nada gundah.

Rasanya Suherman tak sanggup lagi menceritakan peristiwa yang sedemikian mencekam itu. Ia masih ingat, Minggu (26/12) rumahnya, “Waktu itu, tidak ada pekerjaan yang saya lakukan. Saya tengah bersenda gurau dengan tiga anak saya,” Katanya dengan mata menerawang, menatap puing reruntuhan sekitar lokasi pengungsian itu.

Di tengah merenda kemesraan denga buah hati tercinta “Tiba-tiba ada gempa yang kuat sekali. Sungguh ngeri sekali, Ujar Suherman. Belum sadar apa yang sepenuhnya terjadi, tidak lama kemudian air dating begitu cepat. “Saya enggak semapt menutup pintu, air yang sedemikian besar dan deras langsung menggulung saya. Yang saya ingat, anak-anak dan istri sudah lari duluan.”

Setelah itu, Suherman merasa antara hidup dan mati,. Air terus menggulungnya hingga sekitar 1 Km dari rumahnya,. “Airnya besar sekali. Sungguh luar biasa besdarnya. saya sampai tidak sadar, “ujarnya sambil menahan sakit di tangannya yang terlihat membengkak.

Suherman mereasa, keajaiban telah terjadi dalma hidupnya. Betapa tidak, ketika sadar, ia sudah berada diatas masjid. Sampai akhirnya, ia berhasil diselamtkan. “Rasanya saya sudah tidak sangup tinggal disini. Sampai sekarang, saya masih membayangkan istri dan anak-anak, terutama si Kecil Arief. Dia baru belajar jalan dan baru bisa merangkak, say enggak akan bisa melupakan itu, “ucap Suherman sambil kembali menangis.

Sejenak Suherman Terdiam. Matanya menerawang jauh ke depan. “Setelah ini saya akan kembali ke Kampung saya di Stabat. Mungkin Sebulan dua bulan ke depan saya baru akan kembali lagi ke sini, meski sudah tidakada lagi anak dan istri,”Ujarnya.

Tidak ada komentar: